Kamis, 19 September 2019

Ponorogo : Cerita Budaya, Agama dan Modernitas


Novarisma Dee_ Hening dan sunyi Kota Ponorogo. Kota ini damai dan santun, ramah dan menjunjung tinggi etika bagi setiap orang yang tinggal di dalamnya. Religius karena banyak pesantrennya dan tradisional karena budayanya. Kadang semuanya membaur menjadi satu peradaban. Hidup berdampingan penuh toleran. Tradisi budaya berbau magis dan mistis. Beberapa tempat dijadikan keramat, benda antik dipelihara dan dipuja, orang sakti mengalahkan segalanya, dukun, sesepuh dan orang pintar didatangi, pawang hujan pun tidak pernah absen dari perhelatan hajat besar di Kota Reog ini. Ini peradaban yang kuat sampai era-90 an.

Hal berbalik juga terjadi, banyak pesantren berdiri di kota ini. Santri pun datang dari pelosok negeri. Kota ini pun juga mendapat julukan kota santri.

Disinilah sesungguhnya toleransi dimulai. Agama bukan suatu alat untuk memperdaya, namun kiblat setiap muslim berbenah. Agama tetap agama, budaya tetap budaya, keduanya berjalan tanpa ada perdebatan panjang. Magis dan mistis mulai tergerus oleh zaman, dukun dan orang pintar tidak banyak yang meneruskan. Namun, bukan berarti budaya tidak berjalan. Budaya tetap berjalan, 'Grebeg Suro' adalah hajat besar masyarakat Ponorogo, diawali dari festival Reog, pasar rakyat dan pasar malam, menyucikan keris pusaka, larung sesajen di Telaga Ngebel dan ditutup dengan kirap pusaka. Kekuatan magis diikutsertakan, 'Pawang Hujan' terutama, ia menjadi tokoh utama kesuksesan acara. Namun, bagaimana dengan turunnya hujan di kirap budaya pada dua tahun belakangan? apakah unsur magis sudah tiada?

Ini adalah kisah panjang masa lalu dan sekarang.

Dulu kekuatan magis memang masih kental, itu cerita dan kononnya. Dan sekarang pun mungkin masih ada dan dipercaya, meskipun sedikit hilang tergerus waktu, namun yang terpenting budaya ini masih terjaga. Masyarakat tetap dengan pedoman agamanya, dan masih menjunjung budayanya. 'Grebeg Suro' seolah hiburan untuk rakyat yang melegenda di setiap tahunnya. Kirap pusaka menjadi tontonan gratis, masyarakat berkumpul memadati pusat kota. Kota ini penuh sesak oleh setiap warga yang akan menyaksikannya. Kapan lagi kota ini akan ramai, jika bukan karena 'Grebeg Suro' dan 'Lebaran' tiba? Inilah faktanya, Budaya dan Agama menjadi dua alasan akan keramaian kota. Selebihnya kembali hening dan sepi.

Kembali hening dan sepi bukan berarti mati. Kota ini tetap ramai di sudut pedesaan, di pasar tradisional dan di persawahan. Indah dan bersinergi, tradisional namun bersemangat. Kini sedikit demi sedikit, titik kota menjadi destinasi wisata orang desa. Ketika aktivitas kerja telah usai, mereka dapat menghibur diri, bioskop telah ada di kota ini, pusat perbelanjaan semakin banyak pilihan, tempat ngopi dengan wi-fi pun sudah menjamur dipadati pemuda masa kini. Ternyata di abad ini modernitas telah memperkenalkan diri.

Selamat datang modernitas di kota Reog ini.

Perkenalkan dirimu dengannya, tanpa ada carut marut dengan Budaya dan Agama. Sekarang waktunya menjadi masyarakat yang cerdas. Tetap maju dengan modernitas, tetap menjaga budaya dan kuat dengan agama. Sudah siapkah kalian semua?

Tradisi Kirap Budaya





0 komentar:

Posting Komentar